• Chapter 1 ~ Adaptasi yang Menyebalkan


    Chapter 1 ~ Adaptasi yang Menyebalkan

    Denpasar, 2002

    Hai sahabat! Akhirnya kita jumpa lagi setelah lama berpisah. Semoga pertemuan maya ini tidak masalah bagi kalian. Akan kuceritakan sedikit kisah hidupku. Jika kau orang baru, maka perkenalkan namaku Fadhel. Kau bisa panggil aku dhel atau apa saja yang kau suka. Ternyata hidup tak selalu mulus seperti sekenario drama. Hidup berpindah-pindah memang menyenangkan, tapi tidak lagi ketika lingkungan, orang terkasih, keluarga dan sahabat yang harus pula  kita tinggalkan. Mungkin inilah jalan terbaik yang telah ditakdirkan oleh Allah  SWT.

    Foto itu aku  ambil dari buku album, sedikit aneh tapi memang saat itu belum ada kamera secanggih zaman ini. Seragam itu merupakan kebanggaanku di SD Muhammadiyah 2 Denpasar, Tapak Suci. Ekstrakulikuler favoritku saat itu. Aku termasuk orang yang pendiam. Bisa kubilang pendiam akut. Tapi sifat pendiamku hanya muncul disaat lingkungan baru dan orang-orang baru hadir di kehidupanku. Aku sangat benci momen itu. Rasanya seperti berada di ruang isolasi dan berusaha keluar. Ketika sudah dekat dan akrab di lingkungan itu, seakan dipaksa untuk menyukai lingkungan asing lainnya.

    Sebelum singgah ke Pulau Dewata, aku tinggal bersama kedua orang tua, kakak,  dan juga kakek nenekku, di salah satu rumah makan ternama di desa ku. Saat Taman Kanak-Kanak, dikalangan keluarga akulah yang dianggap paling bandel, nakal, dan mungkin aneh. Aku sempat pindah saat menginjak TK-B tidak lain tujuannya adalah Pulau Bali. Saat itu usiaku masih 5 tahun, dan terjadilah awal adaptasi yang menyebalkan ini. Memang ku akui, dulu aku memang termasuk anak yang sangat menyebalkan. Aku adalah anak yang aneh, ketika ibuku pergi ke luar kota aku pun marah dan berusaha untuk menghentikannya. Padahal beliau sudah mengajakku untuk ikut dengannya, tapi anehnya aku sendiri tidak mau untuk ikut dengannya. Baiklah, aku memang sangat egois.

    Hari pertama menginjakkan kaki di seberang rasanya sangat bahagia, senang, seakan aku tidak ingin kembali lagi ke kampung halaman. Saat itu aku berdomisili tepat di belakang Gedung BAPUSDA Kota Denpasar. Aku tinggal di sebuah rumah kos bersama seluruh keluargaku, tepatnya di Jalan Pulau Sebatik No.24 Denpasar.

    Enam bulan sudah aku tinggal di pulau tetangga. Ternyata tidak segalanya membuatku nyaman. Disana kami umat muslim harus mengikuti aturan adat hindu. Nyepi. Ada suka ada pula duka dari hari raya ini. Sehari tanpa polusi adalah hal yang sangat diharapkan seluruh umat manusia di bumi ini. Tapi tidak dengan larangan cahaya pada malam hari, suara perangkat elektronik sperti televisi, bahkan kami dilarang untuk saling bicara atau membuat sedikit kebisingan karena mendiskusikan suatu hal. Hari raya ini di kontrol secara langsung oleh pecalang (semacam polisi adat Bali). Mereka berpatroli pagi-siang-malam untuk memantau aktivitas penduduk agar kondusif. Namun ada juga yang tetap nekat berkeliaran keluar rumah.

    Sebelum hari raya Nyepi itu mulai, pada malam harinya ada pertunjukan ogoh-ogoh. Sejenis patung raksasa yang diarak oleh 20 orang keliling kota. Menurut umat hindu, hal ini dipercaya untuk mengusir roh-roh jahat. Yang membuat aku bingung kenapa patung itu justru berbentuk jin atau makhluk-makhluk aneh lainnya. Hmm entahlah..

    Apa kamu pernah bermain sepak bola di tengah jalan raya yang lebarnya 16 meter? Inilah bagian terpenting bagi muslim Bali. Saat suasana sepi (biasanya sore hari), aman dan tidak ada pecalang yang berpatroli, kita semua langsung menuju tempat untuk melakukan aktivitas olahraga. Ada yang bermain badminton, takraw, sepak bola, dan masih banyak macam jenis lainnya. Namun saat pecalang itu datang, kita semua spontan menyelamatkan diri bagaikan semut yang diusir dari makanan. Walau begitu, nyatanya sangat mengasyikkan. Kita semua menikmatinya. Hal yang paling tidak membuat nyaman seluruh masyarakat muslim di Bali adalah dilarangnya adzan sholat menggunakan microphone baik itu ibadah sholat jum'at ataupun sholat fardhu. Meski begitu alhamdulillah kami tetap bersyukur masih ada rasa toleransi di hati para penegak hukum adat. Pernah saat malam hari, di salah satu kamar kos terdapat sekeluarga, di dalam kamar tersebut terdapat Bayi. Dan lampu kamar mereka menyala sangat terang, padahal di ujung gerbang sudah diberi catatan bahwa ada anak kecil/balita. Namun apa daya, pecalang itu tanpa basa basi langsung melempar kamar itu dengan batu kerikil dari arah BAPUSDA, menyedihkan.

    Inilah yang disukai para pelajar dan aku yakin pasti 75% pelajar di Indonesia menyukai hari libur, apalagi orang kantoran. Disini banyak sekali perayaan hari besar umat hindu, jadi lagi-lagi hukum adat berkuasa diatas hukum pemerintah. Pemda bali membuat aturan hari libur setiap hari besar Hindu. Seperti yang tadi aku ceritakan Nyepi, dan ada juga yang masih aku ingat yaitu Galungan dan Kuningan. Entah hari raya apa itu yang terpenting kami semua pelajar muslim dibali bisa bersantai berlibur ria, hehe. Lain halnya bagi pelajar Hindu sendiri. Biasanya mereka sibuk mengunjungi tempat peribadatan seperti pura dan melakukan upacara adat. Ya, begitulah keadaan disana.

    Hari pertama sekolah hanya satu yang aku rasakan, menyeramkan. TK Aisyiyah Bustanulatfal yang berdiri satu bangunan dengan SD Muhammadiyah 2 Denpasar. Uniknya banyak muka-muka arab sebagai murid di sekolah itu. Sehingga aku merasa sangat asing disana. Apalagi logat bahasa yang 100% jauh beda dengan kampung halamanku. Tak sedikit yang tertawa ketika mendengar logat jawa ngapak yang biasa aku ucapkan ke teman-temanku. Namanya juga anak kecil pastinya sedikit ditertawakan tetap saja ada rasa minder.

    Saat itu aku sangat manja dengan orang tuaku, dalam arti manja selalu ingin ditemani oleh ibuku ketika sekolah. Sehingga setiap berada di kelas, aku tidak sepenuhnya fokus dengan apa yang guruku ajarkan tetapi lebih untuk mangawasi keberadaan ibuku. Ya, begitulah aku yang dulu.

    Banyak sekali pengalaman menarik saat taman kanak-kanak disana. Yang paling saya ingat adalah tragedi pukul 24:00. Suara ledakkan itu sampai ke kotaku, Denpasar. Penghuni Rumah Kos dan tetangga sebelah semua nya terbangun. Kami kira itu hanya ledakan pecah ban truk saja. Yang membuat kami kaget yakni puluhan mobil ambulance berbondong-bondong dengan sangat cepat menuju lokasi. Ke-esokan hari nya semua warga Bali dikejutkan, ternyata kejadian malam tadi adalah ledakan dari tragedi Bom Bali I yang terjadi di Kuta. Kami semua menyesalkan hal itu dan tak lupa kami bersyukur sedang berada jauh dari TKP pengeboman tersebut. Sungguh mengkhawatirkan.

    Belum sempat lulus TK disana, aku dan keluargaku harus move on lagi dan kali ini kami semua kembali ke kampung halaman, Buntu - Banyumas. Karena saat itu pekerjaan ayahku belum menemukan titik ketepatan dan kejelasan.

    Bagaimana rasanya kembali ke sekolah yang dulu? Hmm mungkin agak aneh dan canggung tapi tidak untukku. Aku nyaman karena ini rumahku, ini kampung halamanku. Bertemu lagi dengan kawan lama dan akhirnya lulus dan melanjutkan di SD Negeri Sidamulya. Disinilah dan di masa inilah awal perjalananku layaknya sebagai nomaden  dimulai lagi.



  • You might also like

    No comments:

    Post a Comment